Gurat sendu menguasai langit malam itu. Di antara riangnya air mendendangkan dirinya dan guntur yang tak mau kalah untuk menyejajari irama sendu semesta. Angin dingin merasuk dan kilatan merah membuat malam makin mencekam. Perasaan semesta kali ini sempurna menjadi irama nada yang tak tertandingi. Irama alam itu mampu membawa nadanya ke sosok remaja yang termenung di tengah senyapnya pikiran-pikiran yang tak mampu lagi ia bendung.
Seorang remaja berumur 17 tahun dengan kepribadian yang jauh dari kata baik tapi tidak seburuk yang orang pikir. Seorang remaja yang berusaha berdiri kokoh di antara badai-badai yang sering menjumpai. Remaja yang masih berusaha berdiri kokoh dengan pertahanannya ketika sebuah tanggung jawab bergelayutan di pundaknya. Perjalanan remaja kecil ini yang jauh dari kata sempurna dan serba bisa. Namun, kini ia sedang mengupayakan semua dengan sebisanya.
Suatu ketika, semesta tak lagi memihak dirinya. Entah mengapa badai itu menerjangnya terlalu keras. Guntur mampu membuatnya menutup telinga ketakutan, tampias air yang jatuh menyakitkan. Dan bisikan-bisikan angin sendu yang menghasut remaja itu untuk berhenti melanjutkan perjalanan. Remaja dengan nyali setipis tisu dibagi 2 itu tak lagi mampu melanjutkan perjalanannya dan memberhentikan dirinya di atas keraguan yang datang menyelinap.
Remaja itu tak disangka-sangka telah mengambil jalan besar, entah senekat apa dan seberani apa dirinya. Hingga mau melewati berbagai deru cacian semesta tat kala ia tak mau memihak dirinya. Tat kala semesta tak mau berbagi kebahagiaan dengannya. Tat kala semesta tak mau menyapanya dengan senyum hangat seperti yang dipancarkan jingga pagi. Tat kala hangatnya mega merah di ufuk barat yang telah meninggalkannya.
Senyap.
Hanya malam yang menyelimuti remaja itu dengan selimut penuh luka dan duka. Selimut tebal yang membuat remaja itu semakin merasa kedinginan. Kedinginan yang menusuk sukma. Kedinginan atas kerinduan yang tak lagi bisa ia rasakan lagi. Dan kerinduan yang tak lagi bisa ia peluk sepenuh hati. Kerinduannya pada bidadari yang amat mulia bagi dirinya. Bidadari yang telah mengantarnya pada sebuah proses yang penuh tantangan. Bidadari yang mampu menjadi penguat bagi dirinya yang lemah tak berdaya.
Remaja itu merindukan sesosok bidadari yang biasa ia sebut dengan sebutan “ ibu “. Bidadari yang sempurna tak kurang suatu apa pun. Bidadari yang membuatnya kuat hingga saat ini. Tapi sayang, Bidadari itu tak lagi bisa menemani dirinya untuk menginjak labirin-labiin baru. Nyatanya, semesta lebih menyayangi bidadari itu. Remaja dengan usia yang masih muda dan pemikiran yang masih labil itu kehilangan arahnya. Ia kehilangan separuh dari hidupnya. Sesosok penguat dirinya.
“Ibu andaikan kau masih ada di sini bersamaku, aku ingin berbagi cerita banyak hal denganmu. Aku ingin engkau bisa melihatku berproses sejauh ini. Aku sekarang sudah tumbuh cukup kuat dan menjadi pohon beringin yang tak mudah tumbang. Ibu, orang-orang itu kejam. Aku banyak menangis dibuatnya”. Kata Remaja itu sambil melihat tampias air di luar.
Rapuh. Ya, Remaja itu sekarang menjadi seseorang yang gampang rapuh. Ia sering kehilangan arahnya. Ia sering mencoba menguatkan dirinya sendiri bahwa ia ingin terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Remaja yang dulu dinahkodai oleh nahkoda handal, kini ia harus menjadi nahkoda sendiri.
Remaja itu sering mengupayakan banyak hal untuk dirinya sendiri tumbuh menjadi lebih baik. Dirinya yang dulu selalu mendapatkan sesuatu dengan mudah, kini harus berperang dengan sedemikian rupa. Banyak hal yang sudah terjadi padanya dan hal itu banyak merubahnya.
Remaja itu memilih jalan untuk membuat dirinya menjadi nahkoda handal dengan mengikuti organisasi di sekolahnya. Selalu terbesit di hatinya untuk mengikuti organisasi kesiswaan di sekolah itu. Tapi kenyataan berkata bahwa ia tak diterima di situ. Namanya tak tertampang di tempat pengumuman anggota OSIS. Seketika harapannya tak terwujud dan sirna begitu saja. Hatinya Bagai di lindas kesedihan. Dan kegagalan itu adalah kegagalan ke-2 kalinya ketika ia masih berusaha untuk bisa ada di dalam organisasi itu. Kegagalan itu pun terasa berat seolah menghapus harapannya.
Meski dengan begitu Si Remaja tak mau terlalu terpuruk dengan kegagalannya. Sebagaimana tampias air yang membawanya mengalir deras ke hilir sungai. Ia akan menerjangnya dengan berbagai macam cara. Ia tak mau kalah. Ia tak ingin harapannya untuk berkembang pupus di tengah jalan. Jalan lain banyak, tapi ia harus mencoba yang mana dulu? Ya, Ia mencoba mengikuti sebuah test di ekstrakurikuler Paskibraka. Tapi, ternyata dirinya tak ada kesempatan juga.
Di antara deruan semesta, kali ini memang paling menyakitkan. Air bah itu tertahan begitu dahsyatnya. Tertahan di antara gulungan awan abu-abu yang pekat tak terlihat. Titik hitam kecil telah sempurna mengisi labirin hatinya. Dermaga kekecewaan, Ia telah berlabuh pada dermaga kekecewaan dengan membawa mendung pekat yang mengguncang seluruh isi lautan. Limpahan air itu meronta-ronta dengan kejamnya, menghujam semua tanpa terkecuali. Bendungannya tak sekuat yang Ia pikir. Sungguh ironis sekali semestanya kali ini.
Ia dipaksa oleh keadaan untuk menjadi orang yang makin kuat, tangguh dan berani. Ia selalu dipaksa untuk menerima semua yang menerpanya dengan lapang dada. Ia dipaksa atas rasa kehilangan. Ia dipaksa menerima sebuah penolakan. Ia juga dipaksa menerima semua yang terjadi padanya dengan sabar.
Soal penerimaan, di mana ia sudah Lelah harus menerima sebuah kenyataan yang begitu getir. Namun, kenyataannya memang semua harus ia terima. Satu per satu dan perlahan-lahan. Lama kelamaan ia pun harus membiasakan dirinya untuk bermuara di buana yang fana. Dengan menggenggam rasa sabar, Ikhlas, dan penuh Syukur. Hal-hal kecil namun sangat besar. Hal-hal kecil yang mudah, tapi tak semudah yang orang katakan.
Namun, ketika dalam kegelapan itu, ia tak sengaja menemukan sebuah tempat baru. Tempat yang tak disangka-sangka bisa membawa dirinya melampaui batas. Ya, tempat itu adalah organisasi Pramuka. Tempat yang mengajarkan banyak hal untuk dirinya. Hari-harinya pun terisi dengan serangkaian pengalaman yang menantang dan penuh rintangan.
Perihal kehilangan, tentang rasa sakit yang begitu menyesakkan jiwa dan sekian banyak hal yang terjadi di hidup ini silih berganti. Biarlah ia datang menyambarnya dan merasakan setiap getaran jiwa. Biarlah ia menjadi sebuah pelajaran berharga untuk kita menjadi seseorang yang lebih hebat. Semua akan berlalu seiring berjalannya waktu. Untuk itu tetaplah bertahan dan kuat untuk hari ini, esok dan seterusnya. Tetaplah tersenyum karna dunia tak selamanya akan murung. Tak selamanya semesta akan mendendangkan ritme-ritme sendu untukmu.’
Tersenyumlah. Untuk itu, bangkitlah untuk kesekian kalinya dan jemput kebahagiaanmu. Karena ia juga menunggumu di ujung sana. Selamat menikmati setiap perjalanan-perjalanan baru penuh tantangan, pelajaran, dan orang yang akan membuat hidupmu makin berwarna. Dan berterima kasihlah atas dirimu sendiri karena mau menemani hingga detik ini. Dengan berbagai macam badai yang suka berlomba-lomba untuk meluluh lantakkan gelora semangatmu.
Penulis : Lutfiyatul Mazidah