“CERITA”

Rumah sakit Tempat dimana ada dua emosi bertemu tapi tak saling menyapa. Ada yang bahagia karna nyawa orang yang mereka sayang dapat kembali lagi ke pelukan Meraka. Dan satu lagi, dimana tangis menyebar, karna nyawa yang telah pergi tak lagi kembali untuk menyapa. Dimana dokter akan bilang mereka sudah berjuang sekuat tenaga. Nyatanya memang nyawa bukan milik manusia tapi kadang mereka lupa jika semua memang harus kembali. Sayangnya masih ada dari mereka banyak yang lupa dan menyalahkan orang lain.

Sama seperti waktu itu. Ketika aku kehilangan satu cahaya yang tak pernah aku tengok sekalipun. Ketika dia redup, aku baru sadar betapa berharganya dia. Dan tuhan gak mau bermurah hati untuk menyalakan kembali cahaya nya.

“Ayana” panggil seseorang.

“Joshua?”

Dari pada memikirkan bagaimana dia menemukanku aku lebih ingin tau kenapa pakaiannya bisa seberantakan itu dan kapan dia tiba di sini. Belum sempat aku kembali berpikir suara lain datang.

“Ayana”

“Diya?”

Diya langsung berlari dari balik Joshua, memelukku.

“Darimana aja kamu? Kenapa ngilang? Kenapa ga jawab telponku hah? Kenapa?” Tanyanya sambil terisak.

Aku balas memeluknya, dan pandanganku terangkat kearah lelaki yang kini sudah duduk di sampingku. Meminta penjelasan.

“Seharusnya kami yang bertanya. Kemana saja kamu selama ini? Kenapa ga angkat telpon, aku lost contact sama kamu udah dua bulan, aku pikir kamu kenapa-kenapa, aku cari kamu kekampus, ke taman belakang kampus tempat kamu biasa menyendiri tapi ga ada. Bahkan kerumah kamu dan Diya, tapi Diya bilang kamu juga ga ketemu Diya berbulan-bulan tanpa alasan yang jelas. Kamu mau apa sebenarnya? Kalau ada masalah cerita jangan dipendam sendiri”

“Maaf”

Satu kata. Tapi untungnya dapat meredam emosi Joshua. Beberapa menit kemudian Diya juga sudah berhenti menangis. Koridor rumah sakit sedikit sepi. Banyak yang sudah tidur. Aku mengajak mereka untuk masuk ke kamar inap ku. Disana aku menceritakan yang terjadi sampai aku ada di rumah sakit.

“Sekarang aku udah ga apa-apa. Kalian boleh pulang” usirku halus.

Diya merengut tidak mau. Dan Joshua,

“Ayana, aku sering bilang kan, kalau ada masalah cerita. Jangan di pendam. Aku sama Diya siap dengerin dan ga akan menghakimi. Kamu ga perlu bohong. Ga perlu lagi pura-pura kalau kamu oke-oke saja. Ga semua luka harus ditutup. Kalau kamu ga punya siapa-siapa kamu masih punya kita. Temen kamu.”

Kata-kata Joshua membuatku terdiam. Mereka ini tau apa sih.

“Kali ini aja oke? Dengan syarat, apapun yang terjadi jangan ngomong apa pun”

Seorang bayi yang lahir tanpa tau apa saja yang akan dihadapinya di masa depan terus menangis hingga lalu terdiam ketika pelukan ibunya membalutnya hangat.

Dia adikku Arya. Yang kelak akan menjadi sosok sempurna. Dan aku yang sekarang empat tahun kelak akan menjadi sosok kuat, untuk diriku sendiri.

“Ibu, aku dapat 90, lihat” Aku, si Ayana kecil sembilan tahun berlari kecil untuk memperlihatkan selebar kertas dengan mata berbinar.

“Wahh, pinter” Puji ibu. Mengusap pucuk kepalaku.

Derapan langkah kecil ikut berlari ke arah kami. Arya dengan mata berbinar tersenyum sambil mengangkat lembar ujiannya.

“Ibu aku dapat seratus” serunya

Aku ikut senang, aku yakin ibu juga.

“Wah, Arya pinter ya?” Puji ibu.

Saat itu aku berpikir, ya kami berdua memang pintar. Tapi yang di pikirkan ibu ternyata berbeda.

“Wah, Arya lebih pintar dari Kak Ayana ya?”

Saat itu aku termangu. Arya juga ikut terdiam. Aku tau dia menatapku dengan tatapan takut. Tapi aku berpura-pura tidak tahu. Dan hanya bilang,

“Iya, Arya memang pintar”

Kataku sambil mengambil kertas ujianku yang terdampar di lantai lalu berlari ke kamar. Aku tau Arya melihatku khawatir, aku tau dia ingin bicara denganku tapi saat itu aku terlalu bocah untuk mengerti. Dan aku memilih untuk kembali berpura-pura tidak tahu.

Sejak saat itu aku sadar jika Arya memang lebih baik dariku. Dia mewarisi segala hal baik dari ibu dan ayah. Dia pintar, baik, sopan, lemah lembut, tampan, sempurna. Dan aku hanya remahan yang hanya kebagian separuhnya. Aku tidak begitu pintar karna nya aku harus berusaha lebih keras. Membuat kami sering dibanding-bandingkan. Sampai aku lupa jika Arya adalah adikku, bukan sainganku.

*

Saat itu bulan April Aku sedang belajar di kamarku. Sampai suara Arya memanggil namaku.

“Apa?”

“Aku, boleh masuk? Tanyanya.

Aku tidak menjawab tanda silahkan saja. Dia duduk di lantai menatapku belajar. “Kakak ga tidur?”

“Habis ini”

“Kakak ga capek?”

‘Dari dulu aku udah capek gara-gara kau, kau aja ga sadar udah buat aku mati-matian berusaha biar ga dibanding-bandingin sama kau’, batinku saat itu. Tapi aku terlalu malas menjawab.

“Kak,” panggilnya

“Hm”

“Jangan lupa ya”

Ujarnya bangkit berdiri. Aku menoleh dan bertepatan Arya memasang wajah itu lagi. Dia tersenyum lalu pergi meninggalkan kamarku.

“Lupa apa, hei” tanyaku setengah berteriak sebelum dia benar-benar pergi. “Ulang tahunku, kak”

Tepat diakhir kalimatnya dia menghilang dari balik pintu.

Hari yang aku jangan sampai lupa itu adalah ulang tahun nya. Ulang tahun Arya. aku belum nyiapin kado apapun!!’

Ulang tahun Arya hanya mengundang kakek, nenek, dan beberapa sepupu. Hiasannya sederhana karna dia yang minta, tapi jangan tanya kadonya. Menggunung.

Setelah acara inti selesai waktunya membuka semua kado. Dan disini aku mulai merasa bersalah. Padahal sudah diingatkan tapi bagaimana bisa aku lupa?!

Acara selesai. Arya seperti biasanya. Aku sempat berpikir apa dia tidak sadar cuma aku yang tidak memberinya kado? Bahkan parahnya lagi, saking paniknya aku lupa bilang selamat ulang tahun.

Beberapa hari berlalu. Aku memendam ego ku dan mengetuk pintu kamar Arya.

Ketukan pertama, tidak ada balasan dari dalam.

Ketukan ke-dua, aku mencoba sambil menyebut namanya. Tapi tetap tidak ada jawaban. Saat aku merasa dia tidak mau diganggu dan akan pergi pintu terbuka.

“Kakak? Aku kira mimpi” paparnya lalu tersenyum.

“Ah, iya.”

“Kenapa kak?”

“Selamat ultah ya”

Senyumnya memudar. Dia marah?

“I-ini, aku ga tau mau kasih kado apa. Jadi terima aja. Awas kamu buang”

Ujarku setengah mengancam memberikan buket bunga yang aku buat sendiri lalu berlalu pergi.

Makan malam tiba. Seperti biasa Ibu akan bercerita banyak hal ke ayah, dan pastinya itu tentang Arya. Yang dia menang lomba tingkat inilah, peringkat itulah, juara ini-itu. Dan berakhir membandingkan aku dengan Arya lagi. Terus saja seperti itu.

“Kamu ini anak pertama perempuan lagi tapi kalah sama Arya. Andai Arya anak pertama pasti kamu juga enak punya Abang kayak Arya.”

Aku tidak menjawab. Toh juga percuma. Realita kok. Tapi penyampaian ibu rasanya sedikit sakit. Sebenarnya tanpa ibu bilang aku juga sudah sadar. Tidak perlu di perjelas.

“Ibu kak Ayana juga pinter kok. Gambar kak Ayana bagus-bagus” Arya, lagi-lagi membelaku. Tapi justru itu yang memperkeruh suasana.

“Ga ampun Arya, kamu baik banget sih. Tuh liat Ayana, baik banget kan adik kamu. Kamu seharusnya bersyukur punya saudara kayak—”

“Aku lupa ada tugas Zoom.” Itu bohong. Sebenarnya aku hanya ingin keluar dari pembahasan ini.

Dan disana Arya masih setia menatap kepergian ku. Dan aku yang tau itu tapi pura pura tidak tahu, karna aku sudah muak.

Banyak hal kemudian yang membuat aku dan Arya makin berjauhan. Ini bukan karna Arya melakukan kesalahan, tapi mungkin karna aku yang terlanjur membencinya tanpa alasan.

Saat ulang tahunku, aku sama sekali tidak membuka kado darinya. Bahkan saat dia mengucapkan selamat ulang tahun aku hanya menoleh tanpa peduli menjawab terima kasih.

Saat dia sakit dan memanggil namaku. Aku sengaja pergi dengan alasan kerja kelompok. Padahal aku hanya pergi tanpa tujuan.

Sebegitu bencinya aku kala itu.

Sampai saat aku masuk perguruan tinggi. Kami semakin jauh. Atau mungkin, aku yang menjauh.

Dan sejak saat itu penyesalan besar datang. Arya sakit. Dan hidupnya tak tertolong

Aku sangat ingat saat itu. Saat langit kelam berawan, saat rintik hujan tak pasti, panggilan tak terjawab beruntun di handphone ku, dan bodohnya aku tidak segera mengangkatnya dan lebih memilih mendengarkan mata pelajaran kuliah.

Sampai saat malam tiba. Ayah datang, membawaku tanpa bilang apa-apa. Aku juga memilih diam karna percuma bertanya karna ayah tidak mau menjawabnya. Tapi seharusnya saat itu aku lebih bersikeras agar ayah mau menjawab.

Kami tiba di rumah sakit. Aku bertanya,

“Siapa yang sakit, yah?”

Tapi ayah tidak menjawab dan langsung menarik tanganku untuk masuk. Hari itu sudah malam. Dan, agak sunyi sampai,

“PERMISI, ” para dokter dan perawat buru-buru menyelat jalan kami.

Belum sempat aku memahami apa yang terjadi disampingku ayah terdiam, aku merasakan tangannya ikut mendingin. Dan dalam sekejap berlari meninggalkanku. Aku mengikutinya dari belakang. Dan apa yang aku lihat saat itu adalah pemandangan yang sangat tidak ingin aku lihat lagi.

Arya telah diujung napasnya.

Ibu berteriak, meraung, berharap Arya akan bangun lagi. Dua perawat segera menahannya mundur, dokter bersiap dengan kejut jantungnya.

Satu kali.

Matanya tetap terpejam.

Dua kali.

Tangis ibu makin menjadi, memohon pada siapapun untuk membawa kembali putranya

Dan,

Tiga kali.

Dokter menggelengkan kepalanya.

Arya tertidur,

Di pelukan tuhan.

Dan, disana. Untuk pertama kalinya, aku akhirnya memanggil namanya sebagai seorang kakak yang tulus.

“Aryaaa…”

Waktu sekarang.

Diruang rumah sakit.

“Klise bukan? Alay? Ya, kalian bisa bilang begitu. Hanya karna adikku meninggal aku jadi manusia dengan mental buruk. Tapi itu masih belum setengah dari cerita,”

“Setelah kematian Arya, ibu menyalakan ku atas kematian anak kesayangannya.” “Kenapa ga angkat telpon?” Nada bicara ibu pelan tapi memburu. Jelas dia marah. “Aku sibuk” singkat, karna aku masih belum bisa mengendalikan isakkanku.

“Sesibuk apa sampai kamu tidak mau sekedar melihat pesan dari ibu dan membuat nyawa adikmu sendiri tiada!” Sentaknya.

Aku tidak mengerti. Dan, tanpa peduli itu ibu mendekat, menunjuk perutku.

“Kalau aja kamu datang tepat waktu dan kasih satu ginjalmu ke Arya, Arya pasti selamat. Arya pasti masih disini!”

“JADI IBU LEBIH PILIH AKU YANG MATI?”

Tanpa sadar intonasi ku meninggi. Ibu terdiam antara kaget dan marah. Aku lihat dibelakang ayah datang menghampiri kami. Dan, aku tau siapa yang akan disalahkan lagi kali ini maka aku memilih pergi. Tanpa peduli ibu berteriak kasar memanggilku kembali, tanpa peduli ayah melihatku dengan tatapan sulit diartikan, aku tidak peduli jika kakiku sangat mati rasa atau bahkan sampai menabrak beberapa orang yang lewat. Aku berlari, sampai aroma rumah sakit itu tak lagi menghantui ku. Aku tak mau berbalik. Terlalu tiba tiba, terlalu sakit, terlalu tidak adil.

Langkahku terseret tidak pasti menyusuri jalanan ramai. Sampai tiba di kamar asrama.

Aku lelah. Aku tidak peduli lagi saat dikamar orang-orang berisik menanyakan kondisiku, atau melakukan hal lain. Pandanganku kabur. Entah karna lelah atau air mataku yang leleh. Mungkin keduanya. Tapi aku tidak peduli.

Aku tidak peduli.

Tidak peduli.

Peduli?

Memangnya kenapa aku harus peduli? Apa selama ini ada yang peduli? Setelahnya, pikiranku tidak pernah tenang.

Pikiran seperti, “jika aku tidak bersikap acuh dan langsung membalas pesan ibu apa Arya akan selamat?”

Tapi kemudian tidak sengaja aku berpikir “jika begitu bukankah aku yang akan mati? Tapi jika aku mati apa ada yang akan menangis untukku?”

Terus seperti itu. Membuatku hampir gila.

Setelah itu pun. Ibu menolak bertemu denganku. Setidak berharganya kah aku? *

Masa sekarang

“Namun sekarang aku tau jika pemikiran bodoh itu salah”

Aku menatap Joshua, tersenyum padanya setelah dua tahun lamanya “bukannya aku tidak berharga, tapi aku lupa apa yang membuatku harus ada. Dan itu sangat berharga. Seperti satu ginjalku yang ada padamu, satu ginjalku sangat berharga bukan? Mungkin kehadiranku tak begitu berarti bagi orang lain, tapi dengan memberikan hal berharga untuk orang lain akan membuat hadirku terasa ada. Dan bagiku itu berharga. Aku tidak sempat menyelamatkan Arya adikku sendiri tapi sebelumnya aku lupa pernah sangat berjasa pada satu nyawa.”

Joshua menarik ku dalam pelukan. Sambil terisak dia berbisik lirih,

“terimakasih”

Aku balas memeluknya, aku melirik Diya yang matanya sudah sangat sembab, “Sini, ” ajak ku.

Walau kondisiku melemah karna hanya memiliki satu ginjal dan penyakit bawaan bukan berarti aku harus langsung menyerah bukan?

Malam yang dingin, di pelukan dua sahabat ku. Semilir angin tiba-tiba datang. Ruangan yang semula gelap mendadak terang. Dan disana, diriku yang pucat masih berada di pelukan sahabat-sahabatnya. Aku berjalan mendekat. Aku coba menyentuh Joshua tapi tanganku langsung menembus nya. Seakan aku hanya ingin yang sekedar lewat.

“Kakak?”

Suara ini,

“kenapa kakak udah disini?”

Aku berbalik, Arya?

“Arya? “

Arya tertawa. Mendekat. Menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

“dua tahun, pasti berat untuk kakak. Maaf ya kak”

Aku tidak menjawab

“sebenarnya aku ga mau kakak buru-buru menyusul ku, karna aku takut kakak akan kesini karna terluka. Tapi sepertinya kakak punya orang-orang yang membuat kakak berharga ya selain aku?” Arya tersenyum.

Sampai akhir pun Arya masih sama. Tetap Arya adikku. Setelah semua tindakan ku dia masih saja sama. Aku menoleh kebelakang.

Ah, mereka sudah sadar jika aku sudah tidak menghembuskan napas. Diya berlarian keluar, berteriak memanggil dokter. Dan, Joshua masih setia memelukku. Namun kali ini tangisnya makin pecah.

Ternyata se berharga itukah aku?

Tapi, apa ibu dan ayah juga akan begitu? Aku merasa tidak yakin.

“ibu dan ayah datang” ujar Arya menunjuk arah pintu.

Dan benar saja ibu dan ayah langsung termangu. Ibu menangis. Dalam diam ayah juga menangis. Walau lirih aku dapat mendengar ibu berbisik pelan sambil memelukku,

‘maaf, maafkan ibu’

Aku menghela napas pelan. Memang manusia.

Mereka baru menyadari betapa berharganya seseorang ketika orang itu telah tiada. Kenapa?

“ayo kak”

Aku menerima uluran tangan Arya, sambil berbisik dalam hati ‘selamat tinggal’

« The End »

Penulis : Faradina Ameiliya