Membaca Fiksi: Kegiatan yang Sia-Sia? 

Sebagai manusia yang bercita-cita menjadi penulis, saya bersyukur memiliki seorang panutan  bernama Pramoedya Anantya Toer. Penulis yang dilahirkan di Blora¹, 6 Februari 1926, telah  mewarnai jagat literatur Sastra Indonesia melalui puluhan karya nan fenomenal, layaknya buku  Revolusi Subuh (kumpulan cerpen) serta Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua  Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).  

Untuk menjadi seorang penulis ulung sebagaimana Pramoedya Anantya Toer, seseorang tidak  dapat semata-mata mengandalkan latihan menulis setiap hari. Bapak Rahmad Darmajat—guru  pengampu saya dalam pelajaran Bahasa Indonesia tatkala SMP—pernah mengatakan kepada  saya bahwa kegiatan menulis selalu diiringi dengan membaca. “Membaca buku bagi seorang  penulis setidaknya menawarkan 2 faedah, yakni memperoleh ilmu pengetahuan untuk bahan  penunjang informasi untuk menulis serta memperkaya perbendaharaan kosakata—bertujuan  menghindari pengulangan kata—sekaligus melenturkan bentuk kalimat sehingga tulisan nyaman  dibaca,” ucap beliau kepada saya pada saat kami berdiskusi.  

Sayangnya, saya—waktu awal belajar menulis—lebih menggemari kegiatan menulis ketimbang  membaca. Saat itu, peristiwa sehari-hari dan petuah para guru penulis dokumentasikan melalui  tulisan. Lantaran jarang membaca, gaya bahasa pada tulisan saya cenderung kaku, monoton, dan  tidak nyaman dibaca. Walhasil, saya lambat laun mulai memaksa kedua mata untuk membaca buku.  

Seperti remaja pada umumnya, literatur fiksi romansa menjadi genre yang menuntun penulis  sebelum menelusuri tema-tema fiksi lainnya. Sayangnya, beberapa orang yang saya temui  cenderung menganggap bahwa buku fiksi merupakan bacaan nirguna. Kegiatan membaca fiksi  pun dicap sebagai salah satu medium untuk menyia-nyiakan masa.  

Suatu waktu, salah seorang guru di sekolah madrasah aliah, melontarkan respons nan begitu  menyakitkan tatkala saya mulai menggandrungi dan membaca buku-buku fiksi. “Berhentilah  membaca fiksi, Din. Kegiatan itu sungguh ‘tak berfaedah. Lebih baik, beralihlah membaca buku buku non-fiksi,” ucap beliau di hadapan guru-guru yang lain ketika saya sedang berada di kantor  pengajar. Sekilas, guruku (dalam respons tersebut) berpendapat secara gamblang bahwa bacaan-

bacaan fiksi benar-benar tidak menyisipkan manfaat bagi kehidupan manusia. Tentu, pernyataan  yang tersusun atas 3 kalimat pula berjaya menghadirkan sejumlah pertanyaaan di benakku:  apakah bacaan-bacaan fiksi urung menyisipkan faedah sama sekali? Apakah aktivitas membaca  fiksi dapat dianggap sebagai bentuk kesia-siaan? Atau barangkali hanya persoalan prioritas  bacaan?  

Antara Non-Fiksi dan Fiksi  

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai (bacaan) non-fiksi sebagai ‘karangan yang  ditulis berdasarkan fakta dan kenyataan’. Ia juga diikat dengan struktur tertentu, misalnya  pembagian bab dan pencantuman daftar pustaka. Kemudian, jenis bacaan ini memprioritaskan  keabsahan informasi sehingga diperlukan pengumpulan data dan pengetahuan yang tepercaya,  seperti buku dan jurnal ilmiah. Maka dari itu, informasi yang berasal dari imajinasi tidak dapat  dicantumkan ke dalam penulisan literatur non-fiksi. Selain itu, gaya bahasa didominasi kalimat kalimat denotatif dengan tujuan meminimalisir mispersepsi sekaligus memudahkan membaca  dalam memahaminya².  

Sementara itu, fiksi dibatasi KBBI atas definisi: ‘(a) cerita rekaan (roman novel dan sebagainya),  (b) rekaan, khayalan; tidak berdasarkan kenyataan, (c) pernyataan yang hanya berlandaskan  khayalan atau pikiran’. Ia berbentuk cerita yang disusun atas dua unsur, yaitu intrinsik dan  ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik ialah bagian perangkai di dalam karya nan mencakup (1) tema  (inti persoalan cerita), (2) tokoh dan penokohan, (3) latar tempat, waktu, dan suasana, (4) alur,  (5) sudut pandang, (6) amanat fiksi. Sedangkan, unsur-unsur ekstrinsik lebih berfokus pada  subjektivitas, aspek sosiologi/lingkungan, dan psikologi sang pengarang. Gaya bahasa karya fiksi  juga lebih luwes dengan kiasan dan kata yang menggambarkan latar demi mengimajinasikan  suasana cerita kepada para pembaca³. 

… 

Fiksi, Bacaan Nirguna?  

Kendati bacaan fiksi dianggit dengan adegan-adegan rekaan, para pengarang sejatinya selalu  bersinggungan akan unsur ekstrinsiknya. Artinya, para pengarang juga mengambil inspirasi dari  peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Pun sejumlah karya fiksi meletakkan latar  tempatnya sesuai dengan dunia nyata, misalnya novel Negeri Van Oranje (karya Wahyuningrat, 

Adept Wiriarsa, Nisa Riyadi, Rizky Pandu Permana) yang menceritakan perjuangan mahasiswa  Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda. Bahkan, para penulis Negeri Van Oranje pula  menceritakan kultur masyarakat Belanda, seperti budaya tepat waktu. Pada sebuah adegan— dalam Negeri Van Oranje—menceritakan Lintang (nama seorang tokoh) mengadakan pertemuan  dengan Jeroen, orang Belanda. Namun, Lintang datang terlambat. Jeroen lantas menegurnya.  

Heran, telat lima menit aja jadi masalah, catat Lintang dalam hati. Kadang, ia masih mengalami  culture shock dengan kebiasaan Orang Belanda yang sangat tepat waktu⁴.  

Penggambaran kultur positif masyarakat Belanda menuntun para pembaca Negeri van Oranje mengadopsinya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sebenarnya manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan dengan membaca karya fiksi.  

Karya Sastra Fiksi Merekam Realitas sembari Memancarkan Simpati  

Sunlie Thomas Alexander—seorang penulis dan kritikus sastra—memaklumatkan bahwa karya  sastra adalah jagat cermin yang tidak pernah berdusta memantulkan bayangan realitas  kemanusiaan apa adanya. Sastra tidak berambisi mengajarkan masyarakat dengan petuah  moralitas utuh, tetapi ia justru menggambarkan secara gamblang atas carut-marut kenyataan di  dunia nyata⁵. 

Tulisan Sunlie Thomas Alexander tersebut benar-benar teraplikasikan dalam salah satu cerpen  yang ditulis Pramoedya Anantya Toer. Cerpen itu berjudul Gado-Gado (terkumpul pada buku  Kumpulan Cerita Percikan Revolusi Subuh). 

Cerpen Gado-Gado menceritakan kondisi sebuah daerah yang tengah dijadikan medan  peperangangan. Latar waktu tidak terlalu jelas, tetapi Prof. Dr. Andreas Hans Teeuw (dalam  bukunya yang berjudul Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Anantya Toer)  menyatakan cerpen Gado-Gado ditulis ketika Pramoedya ditahan pada tahun 1949. Kemudian, ia  terbit setahun sesudahnya dalam kumpulan cerita berjudul Pertjikan Revolusi (1950). Prrof  Andreas memperkirakan terjadinya kisah cerita pendek ini bersamaan dengan gencar-gencarnya  agresi militer Belanda pertama (1947).  

Pada saat agresi berkecamuk, masyarakat dan rakyat sipil selalu menjadi korban paling  mengenaskan. Dalam cerpen tersebut, para petani menjadi salah satu masyarakat sipil yang 

dilanda tuah petaka perang. Lahan, ternak, dan padi milik mereka dibakar dan dijarah oleh para  serdadu. Lantas, para petani terpaksa bermigrasi ke tempat lain dengan membawa barang-barang  yang dapat dibawa. Untuk bertahan hidup, barang-barang yang terbawa para petani harus dijual.  

…, mereka akan memadatkan kota-kota di garis belakang. Mula-mula menjalin barang-barang  yang bisa terbawa⁷.  

(Percikan Revolusi Subuh, halaman 5, Hasta Mitra)  

Apabila semua barang raib terjual dan tidak memiliki uang, para petani pergi mencari pekerjaan  di tempat hijrahnya. Nahasnya, lapangan pekerjaan telah diisi penduduk lama. Dengan demikian,  para bapak tani terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidupnya.  

…, mereka pergi mencari pekerjaan. Tetapi pekerjaan sudah diisi oleh penduduk lama⁸.  (Percikan Revolusi Subuh, halaman 5) 

Dengan demikian, hati-hati seperti prajurit gerilya mereka merayap dalam gelap—mencuri⁹.  (Percikan Revolusi Subuh, halaman 6) 

Sementara itu, para ibu tani berupaya mempertahankan hidupnya dengan cara yang sangat  memprihatinkan. Demi menyambung napas, mereka rela menjadi pekerja seks komersial.  Nahasnya, tidak lama, para ibu tani tewas digerogoti penyakit raja singa.  

Ibu-ibu tani menelentangkan badannya di rumput tanah air yang hijau. Mereka menantikan  orang datang memeluk lama-lama–menciumi dengan mesra: cium panjang dan cium pendek.  Mereka akan menerima uang pemanjang umur sampai lusa. Tapi sebelum hari lusa ditutup  malam, mereka telah menjelempah di bawah jembatan raja singa¹⁰.  

(Percikan Revolusi Subuh, halaman 6, Hasta Mitra)  

Secara tersirat dan tidak menggurui, kisah nasib para petani yang dituliskan Pramoedya  menyisipkan perasaan simpati terhadap korban kekejaman perang. Berkat cerpen tersebut, saya  mengetahui bahwa peperangan merupakan peristiwa yang menakutkan. Perang akan selalu  menyengsarakan masyarakat sipil.  

Selain itu, kondisi dunia nan tidak ideal tatkala perang yang digambarkan Pramoedya mengubah  pandangan saya terkait para pendosa, terkhususnya pekerja seks komersia. Sebelumnya, saya 

senantiasa mengecap buruk manusia yang membangkang kepada Tuhan tanpa pernah  menimbang dan melihat motif yang mendasari kedurhakaanya. Sesudah membaca kisah ibu  tani—yang berzina demi uang—dalam cerpen Gado-Gado, pandangan tersebut berubah. Saya  urung sekali-kali menganggap rendah para pendosa. Barangkali mereka bertindak amoral karena  dipaksa oleh keadaan.  

Pada intinya, simpati atas nasib orang lain dan sudut pandang lain terkait para pendosa berhasil  saya peroleh dengan membaca karya fiksi. Kedua nilai Arif tersebut berkontribusi menjadikan  seseorang sebagai manusia yang memiliki kepedulian.  

Fiksi itu Berguna!  

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya fiksi tetap memiliki manfaat bagi perjalanan manusia,  terutama diri saya sendiri. Saya mengetahui nilai-nilai kepedulian dan kemanusiaan terkait posisi  para pendosa.  

Dengan demikian, komentar salah satu guruku di madrasah Aliah yang menyatakan bahwa karya  fiksi nirguna, sungguh tidak relevan. Barangkali, beliau sebatas mempermasalahkan prioritas  daftar bacaan yang akan saya baca. Saya juga menyepakati bahwa buku-buku non-fiksi pula perlu dan harus dibaca.  

___ 

Seranai Pustaka 

¹Jarwo, FX. (2025, 9 Februari). “Biografi Pramoedya Anantya Toer: Karya, Kontroversi, dan  Daya Hidupnya.” PROPUBLIKA. Diakses pada 27 Mei dari https://propublika.id/cerita/biografi pramoedya-ananta-toer-karya-kontroversi-dan-daya-hidupnya/ 

²Zuhriyah, Umi. (2023, 24 November). “Perbedaan Karya Fiksi dan Nonfiksi Beserta  Contohnya.” Tirto.id. Diakses pada 27 Mei dari https://tirto.id/perbedaan-karya-fiksi-dan nonfiksi-beserta-contohnya-gSy1 

³Zuhriyah, Umi. (2023, 24 November). “Perbedaan Karya Fiksi dan Nonfiksi Beserta  Contohnya.” Tirto.id. Diakses pada 27 Mei dari https://tirto.id/perbedaan-karya-fiksi-dan nonfiksi-beserta-contohnya-gSy1

⁴Wahyuningrat, dkk. (2014). Negeri van Oranje. Yogyakarta: Bentang Pustaka  

⁵Alexander, Sunlie Thomas. (2021) Seperti Karya Sastra, Hidup Bukanlah Racauan dan Catatan Catatan Kecil Lainnya. Yogyakarta: Penerbit JBS  

⁶Toer, Pramoedya Ananta. (2001). Percikan Revolusi Subuh. Jakarta: Hasta Mitra.  ⁷Toer, Pramoedya Ananta. (2001). Percikan Revolusi Subuh. Jakarta: Hasta Mitra.  ⁸Toer, Pramoedya Ananta. (2001). Percikan Revolusi Subuh. Jakarta: Hasta Mitra ⁹Toer, Pramoedya Ananta. (2001). Percikan Revolusi Subuh. Jakarta: Hasta Mitra

Penulis : Muhammad Muhibudin